![]() |
Bubarkan HTI |
Kita pernah berseteru dengan Kyai
Maruf Amin, itu kenyataan yang tidak bisa disembunyikan. Jangankan kalian,
bahkan tulisan saya berjudul "Duh Kyai" menyebar dimana-mana
dijadikan senjata untuk melemahkan saya untuk mendukung Jokowi.
Malu? Tidak. Setidaknya saya
pernah bersikap, bukan diam melihat ketidakadilan yang ada, pada saat itu. Saya
malah bangga bahwa saya pernah dengan berani mengungkapkan sesuatu yang bagi
sebagian orang dianggap tabu.
Saya diserang dimana-mana, bahkan
dimarahi sebagian warga NU. Tapi itulah saya, apa yang saya ungkapkan tidak
perlu persetujuan karena lebih baik disingkirkan dengan kejujuran, daripada
hidup dengan kemunafikan.
Tapi bagaimana sekarang?
Pertanyaannya, "Apakah saya
perlu memelihara dendam?" Hidup dengan dendam adalah hidup dengan
kehinaan. Tidak ada nilai positifnya, bahkan akan menjadi hantu selamanya.
Setidaknya apa yang terjadi
mengajarkan kita, bahwa politik itu bukan papan catur yang hitam dan putih
warnanya. Politik itu seperti warna-warni kehidupan, yang kadang menyenangkan
dan sering menyakitkan.
Tidak pernah ada dendam saya
kepada Kyai Maaruf Amin. Bahkan pada saat berseteru, saya dipertemukan dengan
beliau oleh Kang Dedi Mulyadi di Purwakarta dan semua baik-baik saja.
Jokowi sudah menetapkan putusan.
Bukan putusan yang menyenangkan memang, karena ia tidak bisa menyenangkan semua
orang. Tetapi setidaknya ia sudah membuat keputusan yang tepat menurutnya. Dan
sebagai rakyat, kita harus ikut apa keputusannya, suka atau tidak, demi sesuatu
yang lebih besar.
Bagi saya, ini bukan tentang
Jokowi, Prabowo, Maruf Amin, Mahfud MD atau siapapun juga.
Ini tentang pertarungan NKRI
versus HTI. Dan saya tidak mungkin berada satu barisan dengan HTI. Saya adalah
lawan mereka. Sekarang dan selamanya. Karena saya cinta Indonesia dengan segala
kebhinekaannya.
Jadi cukup itu yang menjadi
alasan kenapa saya tetap berada di belakang Jokowi. Kita harus melihat gambar
yang lebih luas dan lebih besar daripada gambar sosok yang bisa membuat gembira
dan kecewa.
Karena itu, wahai para petarung,
bertarunglah..
Jangan lemah karena engkau tidak
suka. Suka atau tidak itu taruh dibelakang. Yang penting sekarang kita maju
perang.
Siap? Seruput dulu secangkir
kopinya.