![]() |
Hukum Cambuk Aceh |
Aceh adalah negeri di ujung barat
Indonesia.
Ia merupakan daerah istimewa, di
mana berlaku peraturan yang berbeda juga dengan Indonesia. Provinsi dengan
gelar otonomi ini memang tergolong konservatif dalam menerapkan peraturan
daerahnya yang berbasis syariah.
Buat sebagian besar masyarakat
Indonesia, peraturan di Aceh tergolong unik, jika tidak bisa dibilang
"aneh". Di sana ada yang namanya polisi syariah, yaitu
"polisi" yang mengawasi cara bertindak dan berlaku masyarakat warga
Aceh.
Misalnya dalam cara berpakaian.
Di Aceh, pakaian harus memenuhi syariat, yaitu harus sangat sopan. Bahkan
lelaki bercelana pendek pun tidak boleh turun ke jalan kalau tidak ingin kena
razia. Dan kalau ketangkap, hukumannya bisa kena cambuk. Itu baru lelaki,
karena untuk perempuan jauh lebih ketat lagi.
Berpacaran adalah hal yang tabu
di Aceh. Razia demi razia digencarkan untuk mencegah non muhrim berdekatan.
Jangankan berboncengan sepeda motor berduaan, ngopi berduaan di kafe aja
dilarang. "Supaya tidak ada pelanggaran syariat Islam..." kata Kepala
Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireuen.
Jangan cerita tentang serunya
aksi Tom Cruise dalam film Mission Impossible pada warga Aceh, karena tidak ada
bioskop di sana. "Bioskop haram di Aceh..." kata seorang teman.
"Gua kalo mau nonton bioskop ya harus ke Medan".
Bahkan hanya untuk membuka
bioskop saja di Aceh, Pemda sana harus studi banding ke Arab Saudi yang juga
baru membuka bioskop sesudah 30 tahun dilarang.
Meskipun saya menghormati
peraturan otonomi daerah yang begitu konservatif di Aceh, saya ngeri
membayangkan hidup di sana. Betapa terbatasnya segala hal yang biasa saya
lakukan di Jakarta, Surabaya, Bandung - apalagi Bali - dan beberapa kota besar
lainnya di mana saya pernah tinggal cukup lama.
Di Bali misalnya, saya hampir
selalu bercelana pendek apalagi saat mengunjungi pantainya yang indah. Kebayang
kalau ada "polisi syariat" di Bali, saya sudah pasti kena cambuk
berkali-kali.
Apakah dengan semua ketatnya
peraturan syariat Islam itu, Aceh bebas dari maksiat?
Ternyata tidak juga. Baru-baru
ini terbongkar prostitusi online di Aceh yang melibatkan sekian banyak
mahasiswi sebagai pelakunya. Siapa pelanggannya? "Ada juga pejabat
Aceh.." kata germonya. "Mereka suka pesan yang putih dan
bersih.." Itu kode dengan artian "yang mulus dong, bro, jangan yang
geradakan kayak jalan belum di aspal.."
Dan hasil dari peraturan syariat
yang sangat ketat itu ternyata juga adalah korupsi. KPK menangkap Gubernur Aceh
karena selewengkan dana otsus. Sayangnya, di Aceh belum ada hukuman potong
tangan buat pencuri. Jadi para pejabatnya masih bisa kembali pake rompi oranye
dan dadah-dadah di kamera televisi.
Mungkin sama kayak di Indonesia,
di mana DPR-nya takut membuat hukuman mati untuk para koruptor. Karena
pelakunya banyak yang dari golongan mereka juga. Senjata makan tuan nantinya.
Aceh adalah gambar kecil
bagaimana hukum syariat berlaku di Indonesia.
Sebuah contoh, bagaimana negeri
ini nanti akan sibuk dengan hal remeh temeh masalah pakaian dan norma, tetapi
jauh dari keunggulan teknologi. Indonesia yang sibuk berdebat masalah surga dan
neraka, tetapi melongo melihat negara tetangga sudah menciptakan robot yang
bisa menggantikan pekerja.
Model seperti inilah yang ingin
diterapkan oleh kelompok pendukung khilafah seperti HTI dan PKS nantinya.
Sebuah negara konservatif berbasis agama, yang sibuk menjaga warganya dari
maksiat, tetapi tidak sibuk mengembangkan potensi dirinya.
Negara-negara kapitalis pasti
senang jika Indonesia seperti ini, karena akan lebih mudah mengeruk kekayaan
alamnya. Cukup membayar ulama berfatwa "haram" maka kita akan
terpenjara tidak dapat berbuat apa-apa menyaksikan mereka mengeruk semua milik
kita.
Karena itulah kita berjuang
supaya negeri ini tetap seperti adanya. Dengan segala kekurangannya, Indonesia
masih menjadi surga bagi kebhinekaan dan kebebasan dalam berekspresi.
Kalau pengen khilafah, silakan
tinggal di Aceh saja. Di Indonesia, kita masih bebas seruput secangkir kopi
tanpa takut ada razia segala..
Ah, nikmatnya..
Tagar.id