![]() |
Prabowo Subianto |
"Kita tidak miskin.."
Begitu ayahku berkata di depan
anak-anaknya. Situasi memang sulit waktu itu. Ia dengan tiba-tiba ditendang
dari pekerjaannya, justru disaat kami sedang memulai hidup di kota baru dimana
ia ditugaskan.
Kabarnya, banyak orang
dikantornya yang baru tidak suka dengan keberadaannya yang membongkar praktek
manipulasi disana yang sudah bertahun-tahun lamanya.
"Miskin itu hanya ada dalam
pikiran. Begitu juga kaya. Karena itu berfikirlah bahwa kita kaya. Optimisme
akan membuka peluang, pikiran menjadi jernih dan tidak kotor karena merasa
kalah..."
Ia memang petarung nyata yang
pernah kulihat. Tidak pernah sedikitpun kulihat ia menangis dihadapan
anak-anaknya. Mungkin ia menyembunyikan kesulitannya dalam keheningan malam. Tapi
disaat siang, ia berjuang kesana kemari mencari penghidupan..
"Kesulitan ada bukan untuk
menghakimi kita. Tapi untuk memperkuat kuda-kuda kaki kita. Ujian ada bukan
untuk menyengsarakan, tapi untuk memperkuat mental supaya saat materi kita
berlebih nanti, kita tidak menjadi orang yang gamang.."
Kata-katanya masih terngiang
ditelingaku sampai kini. Butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan maknanya, tapi
sesudah akhirnya aku mengerti, aku menjadi orang yang lebih kuat dari
sebelumnya, saat aku mendapat kesulitan..
Jadi ketika seorang Prabowo
meneriakkan, "Indonesia akan terancam miskin selamanya !" aku justru
teringat ayahku. Ia jauh lebih berharga dari seorang Jenderal yang mempunyai
harta triliunan tetapi terus meniupkan ketakutan pada bangsanya.
Bagaimana bisa seorang
"pemimpin" berbicara kemiskinan disaat rakyatnya butuh harapan,
motivasi dan semangat juang ? Bagaimana bisa seorang "ayah"
menjatuhkan mental "anak bangsanya" sendiri dan berharap bisa
membangun kejayaan diatas kehancurannya ?
"Mental itu terbuat dari
baja, nak.. Selayaknya ia terus ditempa.." Kata ayahku, sambil mengusap
kepalaku saat aku mengadu padanya ketika masalah ekonomi membelitku. Aku
mendongak dan menatap wajah tuanya, wajah yang penuh dengan jalan cerita
perjuangan dan pesan-pesannya..
Ia sudah tiada. Pejuang itu sudah
lama beristirahat dengan tenang. Dan hanya butuh seorang pemimpin pesimis yang
membangkitkan kenanganku padanya..
Ah, seandainya di akhirat sana
ada telepon, ingin kuhubungi ia sekedar menyapa, "Papa, aku rindu padamu.."
Biarlah secangkir kopi yang
menemani malamku..