![]() |
Seorang Bapak Menggendong Anak Kecil |
Gempa dan Tsunami di Palu sudah
menelan korban jiwa hampir mencapai seribu orang. Terbanyak korban ada dalam puing
reruntuhan dan terseret gelombang air laut. Seribu itu jumlah yang terhitung,
yang hilang mungkin menambah jumlah korban yang ada.
Seharusnya pada saat musibah
seperti ini, semua yang mempunyai rasa kemanusiaan bangkit berdiri. Mulai
melakukan apa yang bisa dilakukan, dari menyumbang sampai mengirimkan tenaga ke
lokasi untuk yang membutuhkan.
Tetapi ternyata ada yang hilang
disini, terutama bagi sebagian orang yang pikirannya selalu berorientasi
kekuasaan. Bagi mereka, korban jiwa dari gempa Palu, tidak ada artinya
dibandingkan narasi politik yang ingin mereka kembangkan.
Mari kita lihat, bagaimana Wakil
Ketua Umum Gerindra, Ferry Juliantono, dengan sinisnya berkata bahwa Jokowi
jangan pakai fasilitas negara untuk ke lokasi gempa Palu.
Pernyataan Ferry ini sungguh
tidak punya hati. Disaat banyak orang membuka baju perbedaannya untuk menolong
saudaranya, ia malah sibuk berfikir bahwa ada yang memanfaatkannya untuk
kegiatan politik.
Entah apa yang ada dipikirannya
Ferry ini. Mungkin bagi Ferry kekuasaan lebih berarti daripada menolong
sesamanya sendiri. Yang difikirkannya hanyalah kursi, bukan bagaimana bisa
membantu saudaranya sendiri. Dia seperti takut kalah dalam pagelaran Pilpres
tahun depan, sehingga langkah apapun yang dilakukan lawannya patut dicurigai.
Bagusnya Jokowi menunjukkan sikap
seorang negarawan. Ia membatalkan jalan sehat di Solo yang sudah diramaikan
ribuan orang. Acara itu diganti dengan berdoa bersama bagi mereka yang terkena
musibah. Jika Jokowi ingin kampanye, tidak perlu jauh-jauh ke Palu, di Solo
saja dia bisa melakukan..
Ada lagi kedangkalan berfikir ala
FPI..
Pernyataan Sobri Lubis ketua DPP
FPI yang menyangkut pautkan gempa Palu dengan status tersangkanya Sugik Nur
Raharja, sungguh menjijikkan. Betapa dangkal cara berfikirnya sehingga semua
dikaitkan dengan agama. Dan gilanya, umatnya pun mengiyakan bahkan bertakbir
karenanya.
Dimana rasa kemanusiaan kita?
Bagi sebagian orang
"rasa" itu telah lama hilang. Mereka sibuk mengunyah, melahap,
menerkam, semua hal yang bersifat kekuasaan. Dalam dirinya sejatinya sudah lama
berubah menjadi binatang, hanya karena wujudnya manusia tidak banyak orang yang
mengetahuinya.
Karena itulah rasa kemanusiaan
tidak ada padanya. Sebab ada sifat binatang liar yang tumbuh dari apa yang
dimakannya. Ia bahkan mampu untuk memakan bangkai sesamanya.
Gempa Palu adalah peristiwa
teknis, berupa gerakan dari patahan yang aktif. Tetapi juga berupa pelajaran,
bahwa dalam situasi sulit, kita baru bisa melihat siapa kawan dan siapa yang
bukan. Seruput kopinya.