![]() |
BPJS Kesehatan |
"Kebangetan!" Gerutu
Jokowi kesal....
Jokowi geram karena BPJS
kesehatan selalu defisit. Tambah kesal lagi dia karena seperti tidak ada solusi
dari BPJS sendiri. "Tiap kurang, minta. Masak ginian Presiden juga yang
ngurusin!"
BPJS memang seperti buah simalakama.
Pemerintah berkomitmen untuk memberikan layanan kesehatan gratis kepada
masyarakat, tetapi anggarannya juga besar.
Tahun 2017, anggaran BPJS sebesar
84 triliun. Tapi pendapatan dari iurannya hanya 74 sekian triliun. Ada selisih
9 triliun rupiah yang akhirnya menjadi tanggungan pemerintah. Bahkan tahun
2018, diprediksi defisit BPJS mencapai 14 triliun rupiah.
Dirut BPJS Fahmi Idris pun
kembali mengingatkan bahwa iuran BPJS terlalu kecil sehingga selalu
"rugi". Meski kata rugi juga bukan kata yang tepat, karena BPJS bukan
badan usaha yang menerapkan konsep laba seperti Pertamina misalnya.
Hanya untuk menaikkan iuran BPJS
tentu akan jadi masalah baru, karena ini akan berpengaruh langsung kepada
masyarakat bawah. Lha wong, mereka bayar iuran sekarang aja susah, masak mau
dinaikin lagi?
Fahmi Idris pun seperti
kehilangan akal. Akhirnya dia "minta lagi minta lagi" ke pemerintah.
Itulah yang membuat Jokowi marah. Padahal dulu Jokowi setuju gaji Dirut BPJS
sebesar 300 juta rupiah, jauh lebih tinggi dari gajinya sendiri yang hanya 62
juta rupiah.
Gaji tinggi itu supaya Dirut BPJS
berpikir layaknya seorang CEO, bisa menyelesaikan masalah yang terjadi di
unitnya.
Permasalahan BPJS ini terjadi
dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan. Dan Fahmi yang bergaji tinggi itupun
hanya punya satu solusi saja, "Naikkan iuran". Kalau solusinya cuma
naikkan doang, untuk apa digaji 300 juta? Kalau gitu anak gua juga bisa. Begitu
mungkin gerutu Jokowi.
Memang ada salah satu solusi
untuk menutupi defisit yaitu dengan mengambil separuh dari pajak cukai rokok.
Pendapatan negara selama ini dari rokok sebesar 145 triliun rupiah dan pajaknya
sebesar 10 persen. Tapi itu belum cukup untuk menutupi defisit yang ada.
Kenapa tidak iuran BPJS sekalian
saja ditanggung perokok, jadi bukan hanya diambil dari pajaknya? Semisal dari
setiap pembelian sebungkus rokok seharga 15 ribu rupiah, ada tambahan 10-15
persen dengan catatan di depan bungkusnya, "Untuk pembayaran BPJS".
Perokok pasti tidak keberatan,
karena bagi pecandu, rokok sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Naik
berapa pun tidak begitu masalah. Asal jangan banyak-banyak, hehe....
Nah, jika pendapatan negara dari
cukai rokok saja bisa sebesar 145 triliun rupiah, berarti ada tambahan 10
persen sebesar 14,5 triliun rupiah sebagai "sumbangan" perokok kepada
BPJS. Tentu ini bisa membantu defisit yang ada.
Hanya, tolong dong, kalau sudah
dibantu gitu, mbok ya perokok dikasih ruang yang lebih luas di tempat-tempat
publik. Masak udah duitnya diambil, tempat merokoknya gak dikasih yang nyaman.
Seharusnya di depan bungkus
rokok, jangan lagi dikasih gambar yang seram-seram dengan tulisan,
"Merokok bisa membunuhmu". Seharusnya ditulis, "Terima kasih
perokok, Anda membantu orang untuk sehat". Kan senang jadinya....
Terus di tempat merokok di
publik, jangan hanya dikasih tulisan, "tempat merokok". Tetapi
ditulis, "tempat orang yang berjasa membantu orang lain tetap sehat".
Keren, kan....
Saran ginian doang gak perlu deh
digaji 300 juta rupiah per bulan. Seruput dulu kopinya. Eh, korek apinya mana
ya?