![]() |
Petugas Bersihkan Kali |
Sebenarnya saya malas bahas
Jakarta....
Kota ini seakan dipaksa mundur ke
belakang oleh pemerintahnya dengan alasan "keberpihakan". Kata
keberpihakan itu sejatinya alasan yang dibuat karena
"ketidakmampuan".
Saat kota-kota besar lain
berlomba untuk kemajuan, Jakarta malah menjadi bahan tertawaan.
Belum selesai orang ketawa dengan
solusi waring hitam untuk mengatasi bau kali, meluncurlah program kembali ke
zaman batu dengan meluncurkan Beol Cepirit, yang dimaknai Becak Online Cepat
dan Irit. Program ini menunjukkan ketidakmampuan Jakarta untuk bersaing ke
depan sehingga menjadi mengada-ada.
Bahkan yang membuat seluruh
Indonesia tertawa keras adalah ketika Jakarta mencoba mengatasi banjir dengan
karung pasir. What? Karung pasir? Come on, ini sudah tahun 2018. Berasa mundur
kembali Jakarta seperti masa Robin Hood berkuasa.
Tidak lama kemudian ide
"brilian" datang dari Jakarta, yaitu menutupi kali dengan eceng
gondok.
Ide ini datang sebagai solusi
untuk menutupi bau di Kali Sentiong. Sebenarnya, ide ini pun masih coba-coba,
tanpa melalui kajian mendalam. Hanya sebagai sebuah ide yang berdasarkan
kira-kira. Mungkin ide ini didapat waktu nonton YouTube atau baca artikel dari
blogspot yang tidak jelas kebenarannya.
Padahal kalau mau belajar dari
kasus di tahun 2011, kisah eceng gondok ini sempat meresahkan warga di Cakung
Jakarta Timur karena dianggap menjadi penyebab banjir di Kanal Timur.
Eceng gondok atau nama latinnya
eichhornia crassipes ini bisa tumbuh sangat cepat dan tidak terkendali sehingga
membuat saluran banjir mampet. Dan di tahun 2013, Jakarta berperang menghabisi
eceng gondok di Banjir Kanal Timur ini yang menghabiskan dana 46 miliar rupiah.
Kenapa Jakarta tidak mau
berkembang seperti Surabaya misalnya?
Sebenarnya bukan tidak mau,
tetapi tidak bisa. Ini masalah kemampuan personal mulai dari pemimpinnya yang
bingung mau ngapain sampai anak buahnya yang asal bapak senang karena ingin
dianggap kreatif saat meluncurkan ide-ide yang tidak terpikirkan. Pokoknya ide
dulu keluar, masalah bisa atau nggak, pikir belakangan.
Inilah yang membuat ngeri ketika
Jakarta bisa dianggap sebagai contoh kecil bagaimana rusaknya Indonesia ketika
mereka yang memimpin. Mengelola Jakarta saja tidak mampu, bagaimana nanti
mereka ketika harus berhadapan dengan ganasnya terkaman dollar Amerika, atau
liciknya kartel migas dan pangan.
Wah gak kebayang kacaunya negara
kita, karena solusi yang dibuat pasti yang mengada-ada. Paling yang dilakukan
cuman tutup diskotik sebagai pencitraan untuk menutupi kelemahan.
Seorang teman berkata,
"Peristiwa yang dihadirkan kepada manusia bukan tanpa makna. Pasti ada
pelajaran di dalamnya...." Dan Jakarta seharusnya bisa menjadi pelajaran
bagi kita, rusaknya sebuah sistem karena dipimpin oleh model pemimpin yang sama
sekali tidak mampu kerja.
Jakarta oh Jakarta.
Kami turut berduka cita.
Dari warga Surabaya