![]() |
Lokasi kejadian Bom di Kabul |
Berbondong-bondong warga muslim
di Kabul Afghanistan datang ke masjid.
Mereka hendak merayakan maulid
Nabi Muhammad SAW. Lantunan salawat dan pembacaan Alquran pun bergema. Ini hari
besar, hari kelahiran junjungan umat muslim sedunia.
Tiba-tiba... blarrr... sebuah bom
meledak ditengah-tengah hadirin. 50 orang tewas seketika. 80 lainnya luka-luka.
Afghanistan menjadikan tanggal 21 November 2018 itu sebagai hari berkabung
nasional.
Siapakah yang melakukan bom bunuh
diri itu? Apakah penganut agama lain yang tidak suka agama Islam? Bukan. Pelaku
adalah mereka yang juga beragama Islam, tapi berkeyakinan bahwa peringatan
maulid Nabi itu tidak boleh dilakukan. Di Islam dikenal dengan sebutan bid'ah.
Mengerikan. Bagaimana seorang
muslim begitu tega membunuh saudara muslimnya sendiri karena berbeda pandangan.
"Pengantin" atau pelaku bom bunuh diri itu berkeyakinan bahwa ia akan
masuk surga karena sudah membunuh saudara sesama muslimnya yang "darahnya
halal".
Ini bukan kejadian baru di
Afghanistan, apalagi di Timur Tengah. Suriah bahkan harus berperang 7 tahun
lamanya demi menghadapi paham radikal ini. Akhirnya pemerintah Suriah sepakat
untuk melarang "ulama-ulama" radikal yang ceramahnya memicu perang
sektarian.
Bagaimana dengan Indonesia?
Badan Intelijen Negara BIN
memaparkan bahwa ada 41 masjid di lingkungan pemerintahan yang terpapar
radikalisme. Bukan itu saja, 7 Perguruan Tinggi Negeri juga sudah tersusupi
radikalisme agama. Bahkan 39 persen mahasiswanya setuju dengan adanya
radikalisme. Lembaga survei Alvara Research malah mengabarkan bahwa 19 persen
Pegawai Negeri Sipil ditemukan anti Pancasila.
Indonesia selama ini belum
bersikap tegas terhadap radikalisme berbaju agama. Usaha kepolisian masih
sebatas menangkapi pelaku teror, belum berupaya mencegah terjadinya teror.
Masih banyak ditemukan ceramah-ceramah agama yang bersifat kekerasan hilir
mudik di media sosial. Dan pendukungnya juga banyak.
Saya pernah menulis sejak lama
bahwa jika pemerintah negeri ini komitmen menjaga Indonesia dari paham radikal,
bersihkan dulu masjid-masjid di BUMN, Kementerian dan aset-aset pemerintah
lainnya dari paham radikal. Dan kunci utama di semua itu ada di takmir atau
pengelola masjid. Mereka inilah yang punya kuasa mengundang penceramah di
masjid.
Libatkan NU dan Muhammadiyah
dengan satu komitmen, menjaga negeri ini dari pengaruh ulama radikal.
Pemerintah tidak bisa sendirian, karena yang bisa mengendus radikalisme di
dalam masjid adalah kedua ormas besar itu. Buat satu tim dengan kesepakatan
bersama.
Kalau halaman pemerintah sendiri
belum bersih, lalu bagaimana berharap rumah Indonesia ini tidak kotor?
Radikalisme agama di negeri ini
harus menjadi perhatian khusus pemerintah, terutama di lingkungan sendiri.
Jangan menunggu seperti Afghanistan apalagi Suriah. Terlalu mahal biayanya.
Sejatinya Tuhan masih sayang pada
Indonesia. Kita diberi banyak pelajaran oleh negeri-negeri yang terkena dampak
terorisme yang berawal dari paham radikal. Korbannya bukan beda agama, bahkan
mereka yang satu agama sekalipun. Karena radikalisme tidak memandang agamanya
apa, mereka berdiri sendiri karena menganggap apa yang mereka yakini yang
paling benar.
Pertanyaannya, maukah Indonesia
belajar dari kejadian yang ada?
Seruput dulu kopinya..
Tagar.Id