Agustus 2017 lalu, saya ke
Papua.Tepatnya ke desa Ampas, Keerom, Papua.
Banyak cerita yang menyeramkan
yang tujuannya mencegah saya datang kesana. Mulai dari ganasnya Malaria sampai
kelompok separatis bersenjata. Tapi karena penasaran, saya kesana juga. Saya
belum pernah ke Papua dan ini kesempatan bagus untuk datang dan melihat dengan
mata kepala sendiri situasi disana.
Sampai disana, saya banyak
mendengar cerita menyedihkan bahkan menyeramkan tentang represi tentara di bumi
Papua. Mereka bisa dengan tiba-tiba menyerang sebuah desa, menculik orang yang
dicurigai bahkan memukul orang yang tidak disukai. Saya akhirnya paham, kenapa
masyarakat Papua begitu trauma terhadap tentara dan mereka tidak ingin menjadi
bagian dari Indonesia.
Tetapi itu terjadi di masa orde
baru berkuasa. Masa dimana kekerasan adalah senjata.
Indonesia pada waktu itu ibarat
seorang lelaki yang memaksa masyarakat Papua kawin dengan cara memperkosa.
Tentu dendam turun temurun ditanamkan ke anak cucu mereka. Orang Papua tidak
merasa menjadi bagian dari NKRI, mereka berfikir bahwa Papua adalah negara
tersendiri.
Di desa Ampas, listrik baru masuk
tahun 2016 melalui program panel surya. Bayangkan, itu 71 tahun sesudah
Indonesia merdeka.
Selama waktu itu mereka hidup
dalam gelap yang bergantung pada sinar bulan dan pelita, botol yang dikasih
minyak tanah yang dibeli dengan harga sangat tinggi disana. Mata anak-anak
mereka pedih saat belajar. Dan menjelang malam mereka duduk mengobrol diluar
dengan tidak bisa melihat teman disampingnya, karena pelita harus dimatikan
untuk menghemat minyak.
Saya mendengar betul keceriaan
mereka disana yang sudah merasakan adanya listrik dan banyak hal termasuk
bensin yang semakin murah.
Seorang bapak, yang saya lupa
namanya, bahkan menepuk pundak saya sambil tersenyum, "Sampaikan salam
saya kepada bapak Jokowi.."
Saya merasakan ketulusan yang
amat sangat, rasa terimakasih yang luar biasa karena mereka sudah tidak menjadi
anak tiri lagi sekarang. Bahkan Papua sudah menjadi anak emas dengan
pembangunan infrastruktur luar biasa yang difokuskan disana. Di tangan Jokowi
Papua berbeda sekarang. Jokowi merangkul dan mengajak Papua tumbuh bersama
seperti daerah lainnya.
Jadi, melihat Papua jangan hanya
melihat dari kacamata seorang pemberontak bersenjata. Mereka sekarang berperang
sudah tidak murni lagi untuk kemerdekaan Papua karena merasa tertindas seperti
masa orde baru. Tetapi ada kepentingan dibaliknya dan itu bukan untuk Papua.
Seorang pemberontak waktu
diwawancara media Jawa Pos bahkan berkata, "akan mengusir mereka yang non
Papua dari tanah ini.." Betapa rasisnya, jauh dari keramahan warga Papua
yang saya temui waktu itu. Kebayang genosida yang terjadi akibat pengusiran
itu.
Tulisan saya ini pasti akan
banyak dikecam dan dibantah oleh mereka yang mengaku aktivis dan pembela HAM
itu. Tapi saya tidak akan bergeming.
Mungkin dulu pada masa orde baru
saya akan berjuang bersama masyarakat Papua untuk membebaskan diri dari negeri
"keluarga" ini. Tapi sekarang ketika negeri ini berubah, saya akan
ada dalam satu barisan untuk menjaga Papua. Sebab ini bukan lagi masalah Papua,
tetapi sudah menjadi masalah Indonesia..
Karena kita semua bersaudara..
Angkat kopinya.