Kenapa Pilpres 2019 terkesan
lebih sepi?
Kalau kita mengukur dengan
standar Pilpres 2014, pilpres kali ini jauh lebih sepi. Tahun 2014 bisa
dibilang adalah Pilpres terganas, pertarungan sengit antardua kubu yang
bersaing dalam memperebutkan kursi kepemimpinan di negeri ini. Black campaign,
fitnah sampai penguasaan teritorial menjadi hal penting untuk menuju
kemenangan.
Ganasnya Pilpres 2014, terkait
banyak faktor. Tetapi faktor terbesar tentu dari keberadaan dana, karena tanpa
dana tidak akan ada pergerakan apa-apa. "Semua butuh logistik," kata
seorang teman yang malang melintang di dunia politik hitam.
Dan sumber dana terbesar untuk
membuat Pilpres 2014 begitu heboh adalah adanya dana haram yang begitu besar
masuk ke Indonesia. Dana haram yang masuk ini bukan semata dana dari negara
asing, tetapi dana haram hasil penggelapan pajak dari banyak sektor seperti
pertambangan, juga hasil korupsi, yang diparkir di luar negeri untuk
menghindari pajak, kemudian masuk kembali ke dalam negeri pada saat yang tepat,
terutama saat musim kampanye seperti sekarang ini.
Dana-dana haram inilah yang
banyak digunakan sebagai logistik untuk menggerakkan mesin kampanye yang besar.
Global Financial Integrity (GFI)
sebuah lembaga yang berdomisili di AS pada tahun 2014 menempatkan Indonesia di
peringkat ke 8 dalam kasus aliran dana haram. Dan itu berarti bernilai ribuan
triliun rupiah.
Dana yang biasanya diparkir di
negara tax haven ini diperkirakan mengalir ke Indonesia lewat banyak jalur
untuk menentukan arah politik Indonesia. Arah politik yang dituju tentu
memenangkan salah satu kontestan yang dinilai akan terus mengamankan harta yang
disimpan di luar negeri supaya tidak ketahuan.
Kerja sama Indonesia dengan Swiss
dalam platform Mutual Legal Assignment MLA yang sedang dalam proses akhir ini,
adalah bagian dari upaya pemerintahan Jokowi untuk mencegah masuknya dana haram
itu ke Indonesia dalam musim kampanye ini, selain tujuan jangka panjangnya
mengembalikan dana itu ke sini.
Tetapi proses kerja sama itu
tentu merepotkan para pemilik dana yang taruh uangnya di Swiss, sehingga mereka
lebih sibuk mengamankan dirinya daripada mengalirkan dana ke Indonesia. Lagian
sekarang, aliran dana ke Indonesia diawasi jauh lebih ketat dari sebelumnya.
Itulah kenapa Pilpres 2019 ini
jauh lebih sepi dari Pilpres 2014. Terkuncinya sumber dana yang selama ini
dipakai untuk kegiatan "haram" membuat kurangnya logistik untuk
memanaskan Pilpres ini menjadi seganas periode lalu.
Akhirnya para pemain politik
hanya bergantung pada dana yang ada di dalam negeri yang jelas tidak sebesar
jika dana itu datang dari luar. Kalau dulu di 2014 bisa bangun panggung besar
dan membayar ribuan orang untuk datang, sekarang cukup di ruangan-ruangan kecil
sambil memainkan narasi supaya media sosial riuh.
Jadi paham kan kenapa ada yang
sampai bilang bahwa ia kehabisan modal dan harus mencairkan sahamnya meski
harganya masih belum maksimal?
Gerakan Jokowi melalui
komandannya Sri Mulyani ini memang ampuh membuat banyak pihak tidak berkutik.
Mulai dari Tax Amnesty sampai perburuan harta di negara tax haven ini,
benar-benar mematikan kutu di rambut banyak orang. Rencananya Hongkong dan
Singapura juga akan menjadi target kerja sama berikutnya.
Jokowi memang membutuhkan situasi
tenang untuk menang. Karena itu jangan sampai ada dana haram yang masuk ke
Indonesia dan mengacaukan semua program yang sudah ia rencanakan matang.
Baru kali ini, banyak jantung
yang berdetak kencang karena tempat persembunyian uang mereka yang selama ini
aman, diobrak-abrik oleh orang yang dulu mereka bilang "plonga
plongo" dan "boneka partai".
Mereka salah besar. Musuh yang
mereka kira seekor kucing hutan ternyata adalah macan hitam yang mengendap dan
mengintai mangsanya dengan tatapan yang sulit dilepaskan..
Seruput.
Tagar.Id