Saya pernah menulis "Jokowi
bukan lagi kita". Ini adalah kecemasan terbesar saya ketika melihat
"api" Jokowi sekarang berbeda dengan api Jokowi saat ia bertarung di
2014 lalu.
2014, terjadi fenomena dukungan
yang begitu besar kepada seorang Jokowi mulai dari pelosok desa sampai ke luar
negeri. Ada nuansa "revolusi" disana, dimana kita ingin ada
pembenahan di negeri ini setelah sepuluh tahun korupsi terjadi di lingkungan
pemerintah sendiri.
Tetapi jujur saya bilang bahwa
api itu meredup perlahan-lahan. Masih menyala sedikit, tapi rentan padam.
Meliuk-liuk ketika bertiup sedikit angin dan goyah ketika tatakannya bergoyang.
Adapun teriakan-teriakan mendukung banyak terjadi karena kecemasan, bukan
karena kepercayaan diri yang begitu kencang.
Apakah ini salah Jokowi? Maaf,
saya bisa bilang "bukan". Jokowi sudah berusaha keras dengan
membubarkan Petral, membangun infrastruktur dimana-mana, membubarkan HTI,
merebut Freeport dan banyak prestasi lainnya.
Yang salah besar bagi saya adalah
timsesnya, yang gagap dan condong reaksional terhadap isu, defensif dan terlena
karena merasa sudah menang. Dan ini kelemahan terbesar..
Kapitalisasi isu terhadap
keberhasilan Jokowi hanya dilakukan melalui trending tagar di twitter.
Dan. Apa gunanya tagar? Apa
tagar punya pengaruh terhadap keputusan seseorang? Perang tagar mungkin cocok
di 2014 dimana twitter masih menjadi rujukan banyak media. Tapi -come on- ini
sudah mau 2019, sudah banyak perubahan. Mau trending kek, mau nggak kek, sapa
yang mau peduli??
Yang saya takutkan, perang tagar
ini hanya bagian dari laporan supaya "Bapak Senang". Karena dari
twitter inilah, angka-angka di media sosial bisa dibuat dalam bentuk laporan
angka. Padahal antara statistik dan situasi di lapangan bisa terjadi perbedaan
besar.
Coba lihat kubu lawan. Mereka
memang menggaungkan tagar #2019gantiPresiden. Tapi mereka tidak berhenti di
tagar atau sibuk dengan laporan kemenangan tagar kepada bossnya.
Mereka menjadikan tagar itu
sebagai sebuah gerakan sosial. Mereka gerak kemana-mana dan membangun brand
melalui kejadian-kejadian kontroversial. Memang disana muncul ketidaksukaan
terhadap sosok Neno Warisman sebagai pengusung tagar karena terlalu over, tapi
perlu diperhitungkan tumbuh juga cinta kepadanya dan gerakannya karena ia
membawa api revolusi baru.
Dan kita hanya sibuk mengejeknya
yang malah menambah jumlah pecintanya. Lalu perang tagar kembali, sedangkan
lawan sudah gerak dimana-mana.
Saya heran, kenapa tidak ada
gerakan sosial mendukung keberhasilan Jokowi yang diorganisir dari timsesnya?
Sebagai contoh Freeport.
Seharusnya pengambil-alihan
Freeport ini adalah keberhasilan yang patut dirayakan oleh segenap bangsa
Indonesia. Digerakkan seperti gerakan "lilin untuk Ahok" sebagai
sebuah perlawanan dan kebanggaan atas kedaulatan Indonesia sekarang. Ini
prestasi besar dengan narasi besar.
Tapi apa yang terjadi?
Prestasi itu adem-adem saja.
Malah sibuk mengcounter narasi-narasi lawan yang sibuk mendowngrade keberhasilan
Jokowi. Sibuk perang data, padahal ini permainan rasa. Tidak ada gerakan apapun
yang mendukung keberhasilan Jokowi ini. Jangankan gerakan besar seperti di
Monas, gerakan kecil aja angin-anginan.
Kemudian.. seperti biasa, maenan
tagar lagi. Seperti malas karena "yah Jokowi sudah pasti menang
lagi.."
Padahal memang itu tujuan lawan,
membangun narasi yang melemahkan supaya tidak ada gerakan besar dari pendukung
Jokowi yang menguatkan.
Saya sempat tersentak mendengar
perkataann Adian Napitupulu ketika kami nongkrong bersama. "Pendukung
Jokowi itu hanya ada di sekitaran Menteng saja, tidak kemana-mana dan tidak
berada dimana-mana. Jokowinya yang kerja, mereka santai-santai saja..."
Jokowi padahal sudah menyindir,
"Ingin di demo tapi mendukung gitu lho. Mendukung agar Freeport diambil
oleh pemerintah. Mahakam sudah diambil 100 persen, tapi pada diam. Padahal,
saya tunggu-tunggu tapi pada diam,".
Kan tidak mungkin dia yang nyuruh
karena kapasitasnya sebagai Presiden, tapi mbok ya ngerti o gitu lohhh..
Tapi sama sekali tidak ada sense
dari timses, karena banyak dari mereka hanya sibuk gerakan counter mengcounter
saja melalui media. Ditambah deklarasi-deklarasi semu di ruang-ruang berAC dan
teriakan-teriakan yang itu-itu saja dari pendukung garis keras yang orangnya
itu-itu juga.
Masih ada waktu untuk merombak
total pemikiran yang jadul dengan gerakan yang lebih modern dan bisa jadi
dikenang dalam sejarah sebagai fenomena baru kemenangan Jokowi yang mungkin
akan dijadikan standar bagaimana memenangkan pemilu, seperti yang dilakukan
Amerika dengan kemenangan Donald Trump.
Kopi ini memang pahit karena
tanpa gula sama sekali. Tetapi mudah-mudahan menyadarkan..
Seruput.