![]() |
Denny Siregar dan Buya Syafii Maarif |
Tamu yang kutunggu itu datang..
Langkahnya masih sigap di usianya
yang berada di angka 83. Wajahnya yang bijaksana seperti menerangi ruangan
tempat kami berada. Ia Buya Syafii Maarif, seorang tokoh besar yang masih
dimiliki Indonesia.
Aku menunduk mencium tangannya.
Sungguh aku kagum padanya sekaligus malu. Ia begitu sederhana. Datang sendirian
dengan batik hijau dan tas hitam yang dijinjingnya tanpa pengawalan. Bajuku
lebih bagus dari apa yang dipakainya, tapi namanya jauh lebih besar dari yang
kupunya.
Kesederhanaan beliau yang
melegenda ternyata bukan sekedar cerita. Dan aku berhadapan dengannya, seperti
berhadapan dengan cermin yang menamparku berkali-kali, "Hei, kamu bukan
siapa-siapa dibandingkan dirinya. Berkacalah dengan kesombongan yang selalu kau
bawa.."
Tuhan, aku cemburu pada Buya..
Pada usianya yang jauh dari muda
dan tubuhnya yang tidak mampu melawan renta, cara berfikir beliau masih sangat
jernih dan tajam. Caranya mengungkapkan banyak hal menunjukkan ketinggian
ilmunya, tetapi tetap dengan bahasa gamblang yang menunjukkan kerendahan
hatinya.
Tubuhku mengecil dihadapannya,
tidak mampu berkata selain mendengarkan petuahnya yang menyejukkan dan selalu
membawa nilai. Ia seperti air tenang yang menyejukkan ditengah kepungan
panasnya hawa nafsu para penjual agama yang berteriak-teriak menjajakan
dagangan untuk perutnya.
Sore ini tidak akan pernah
kulupa. Akan kuceritakan dengan bangga kepada anak-anakku bahwa ayahnya pernah
bertemu seorang manusia yang selayaknya menjadi panutan banyak orang.
Muhammadiyah seharusnya bangga
melahirkan seorang pemikir seperti Buya dan menauladani sifat-sifatnya. Buya
dicintai banyak orang melampaui batas-batas ras, suku dan agama. Dan betapa
indahnya membaca banyak salam disampaikan kepadanya. Semua sayang padanya
Waktupun cepat berlalu dan tidak
terasa secangkir kopi tandas tanpa sisa. Buya pamit tanpa melayani permintaan
berfoto banyak orang. Ia tidak ingin tampil dalam panggung apapun juga,
cukuplah ia dikenang karena hasil karyanya bukan karena dirinya. Itu lebih
abadi dari apapun juga.
Sehat selalu, Buya. Salam hormat
selalu.
Dariku
Yang cemburu padamu.