![]() |
Ilustrasi |
"Gua muak lihat politisasi agama di
kedua kubu. Kayaknya gua golput !!"
Begitu status seseorang yang saya baca.
Nada tulisannya penuh kemarahan karena penuh dengan tanda seru dan emoticon
galak. Ah, saya gak tahan untuk tidak menulis tentang ini.
Siapapun pasti muak ketika melihat agama di
politisasi. Siapapun yang rasional. Termasuk saya.
Sejak era reformasi, agama sudah
dipolitisir secara terbuka. Ingat peristiwa Pilpres 2009 dimana ada kabar yang
beredar untuk tidak memilih Megawati sebagai Presiden karena dia wanita ?
Ayat-ayat bertebaran ditambah dengan petuah ulama, yang gak jelas itu ulama
mana. Banyakan dari PKS kalau gak salah..
Pilgub DKI 2017 adalah pemilu dengan
politisasi agama paling brutal sepanjang sejarah. Ah, gak usah diceritain kita
semua tahu apa yang terjadi. Dan mereka menang dengan bangga meski harus menjual
mayat saudara seimannya.
Lalu bagaimana mengatasi semua ini disaat
itu menjadi senjata terkuat mereka ? Kesuksesan pasti ingin diulang menjadi
kesuksesan selanjutnya. Dan kita tidak tahu, seberapa mengerikan situasi yang
terjadi jika strategi itu mereka ulang lagi.
Saya pernah menulis dulu, bahwa untuk
memadamkan api di ladang minyak tidak bisa dengan air, harus dengan ledakan
kuat untuk menutupi kebocorannya. Ketika politisasi agama jadi senjata pembunuh
massal, penjelasan serasional apapun tidak akan pernah berarti.
Caranya hanyalah dengan konsep "fight
fire with fire", propaganda lawan dengan propaganda juga. Selama ini orang
baik hanya menari di genderang perang orang jahat, hanya karena "kita
tidak boleh bermain seperti mereka..". Tetapi toh situasi itu disaat
"perang" sangat tidak menguntungkan.
Ketika Jokowi memainkan "agama"
lewat strategi perangnya dengan menggandeng KH Maaruf Amin dan NU
dibelakangnya, banyak pendukungnya yang protes. "Kok Jokowi maenan agama
juga ?" Teriak mereka. Tapi mereka juga tidak memberikan solusi, bagaimana
memenangkan perang melawan monster yang sudah mengganas seperti ini?
Suka tidak suka, ditengah masyarakat yang
sedang mabok agama, senjata yang ampuh untuk menahan keganasan lawan adalah
dengan menggunakan senjata yang mereka pakai. Hanya kali ini digunakan dengan
cara yang elegan. Politisasi agama tidak bisa dilawan, tetapi bisa dijinakkan.
Dan terbukti, ketika Jokowi memakai senjata
"agama" juga sebagai lawan tanding mereka, keganasan itu langsung
teredam. Ijtimak ulama ditandingkan dengan ulama beneran. Demo menggunakan nama
agama, ditandingkan dengan shalawat bersama. Mereka terdiam, senjata mereka
atas nama agama kali ini tidak mempan.
Isu Jokowi PKI, antek aseng dan
kriminalisasi ulama, pelan-pelan menghilang karena dia menggandeng para ulama.
Masyarakat awam akhirnya bahkan menilai bahwa dalam soal ibadah, Jokowi lebih
taat dari lawan politiknya yang suka joget-joget bersyariah.
Kali ini genderang lawan tidak mampu
membangun tarian baru, malah mereka menari di genderang yang dibunyikan
petahana. Serangan "firehose of falsehood" yang mereka andalkan,
malah dikembalikan dengan serangan yang sama dengan narasi "Jumatan
dimana?" "Bisa ngaji apa tidak ?"
Memang Pemilu kali ini kental dengan
strategi receh. Tetapi receh harus dilawan dengan receh juga. Kalau tidak, akan
terpilih orang yang akan merecehkan seluruh Indonesia jika dia berkuasa.
Kondisi perang tidak mengenal "suka
atau tidak suka", tetapi bagaimana strategi untuk mengalahkan lawan dengan
menghantam kelemahannya. Jangan sampai yang jahat berkuasa, hanya karena kita
tidak mau menggunakan pedang disaat dibutuhkan.
Sudah mengerti sekarang ??
Mari seruput kopinya..