![]() |
Fadli Zon dan Denny Siregar |
Satu hal yang saya pelajari di
ILC tadi, adalah ternyata memang sulit sekali berdiskusi dengan baik dengan
mereka.
Felix Siaw masih mending
menjabarkan serangan-serangan bendera HTI dari Permadi Setya dengan kalem, meski
harus berlindung dibalik ayat-ayat dulu di awal untuk menunjukkan
“kemampuannya”.
Tetapi Fadli Zon -entah kesal
dengan saya karena dulu pernah membalas puisinya- atau memang terbiasa bermain
psywar di meja, menyerang langsung dengan kata “tidak intelektual”..
Seakan-akan apa yang saya
sampaikan tidak seintelektual dirinya. Yang ketika saya dengarkan malah terlalu
intelektual, sehingga saya sulit menangkap apa yang ia bicarakan.
Ditambah lagi Al khotot yang
langsung menembak dengan kata “kurang informasi” dan malah ada kata bernada
sedikit ancaman “jangan sampai nanti gak bisa pulang..” dalam membahas
pernyataan saya tentang dana 4 Miliar yang tidak mereka akui, tetapi diakui
oleh panitia pelaksana meski disamarkan dengan kata “dari umat dan Allah SWT”.
Apa yang saya pelajari disana?
Ada kecenderungan kelompok mereka
menghantam lawan diskusi dengan nada-nada represif atau menekan dan meremehkan.
Dengan begitu, mereka akan terlihat menang karena mengambil alih pembicaraan.
Meskipun jawaban mereka tidak
menyentuh akar masalah, itu tidak penting. Yang penting retorika dengan gaya
bahasa flamboyan yang rumit seperti FZ dan bahasa yang menekan seperti Al
Khotot.
Saya sendiri menahan diri untuk
tidak merebut mike dan terpancing dengan semua itu. Itulah kenapa saya banyak
senyum-senym saja melihat mereka. Ditambah memang Bang Karni tidak memberikan
kesempatan untuk mengomentari pernyataan mereka.
Ingin sekali berbuat tidak sopan
dengan memotong pembicaaran, tapi saya tidak mampu. Saya terbiasa mendengar
sebuah argumen, karena menurut saya, semua orang punya hak untuk berbicara.
Dan saya semakin senyum ketika
ternyata Al Khotot dan Eggy Sujana rupanya tidak kompak. ES lebih jujur
menyampaikan bahwa aksi 212 adalah gerakan politik, sedangkan Al Khotot masih sibuk
membungkusnya dengan kata-kata perayaan Maulid.
Masih banyak yang ingin saya
bahas sebenarnya seperti klaim “umat Islam” dan klaim “ulama” yang biasa mereka
lontarkan.
Tapi waktu tidak berpihak, karena
Bang Karni harus menggilir para narasumber yang sekian banyaknya supaya semua
mendapat kesempatan bicara.
Yang lucu adalah orang-orang yang
menganggap bahwa diskusi ILC itu adalah diskusi menang kalah. Harus ada yang
menang dan harus ada yang kalah, buat mereka.
Penting sekali mereka untuk
merasa menang, seperti pentingnya mereka untuk berbicara “juta” dalam aksi,
untuk menaikkan kepercayaan diri mereka.
Pantas saja orang tua dulu bicara
“Wong waras ngalah” itu lebih kepada sebuah nasihat, “kamu harus menjadi tidak
waras untuk berdebat dengan mereka”.
Saya jadi paham, kenapa Imam Ali
dulu menghindari debat dan lebih suka “menyampaikan”. Karena ia lebih nenyukai
kelembutan dalam membagikan pesan daripada sibuk menerangkan sesuatu kepada
mereka yang tidak mau paham.
Menarik lah ILC tadi sebagai
pemanasan. Beradaptasi dulu dengan medan sebelum nanti bisa menguasainya dengan
strategi yang tepat. Disana harus menjadi dominator, gak penting orang paham
atau tidak apa yang dikatakan. Udah ah mau bobo dulu... Met
malam.