![]() |
Dp Nol |
Seorang supir taksi ber KTP DKI senang ketika ada berita “rumah dp 0
rupiah” di realisasikan. Ia yang selama ini mengontrak dengan istri dan anaknya berharap dapat
rumah- meski bentuknya susun dengan cicilan 2 jutaan sebulan. Dengan harapan
tinggi ia mendatangi kantor developer berharap dapat informasi yang benar.
Sesudah bertemu dengan SPG yang cantik-cantik, ia ditawari brosur pembelian.
Dan senyumnya kecut, karena ternyata ada uang yang harus dibayar di depan
dengan nama “akad” sebesar lebih dari 20 juta rupiah.
Darimana ia dapat uang 20 juta rupiah untuk akad?? Sedangkan pendapatan dia per bulan berkisar 6-7 juta rupiah perbulan.
Sebagian besar pendapatan dia keluar untuk kontrak rumah kecil perbulan
dan biaya hidup sehari-hari. Ia bahkan belum sempat mengajak keluarganya wisata
karena harus bisa sedikit menabung dengan uang pas2an.
Model kampanye dp 0 rupiah ini memang menyesatkan...
Kampanye itu membuai dan menaikkan harapan seorang supir taksi
setinggi-tingginya ke awan, sebelum dicampakkan dengan keras ke bumi bahwa
sebenarnya tidak ada yang namanya dp 0 rupiah.
Namanya developer, pasti punya banyak cara untuk promosi. Ada yang bilang,
“hanya 10 menit ke kota”. Iya 10 menit memang, tapi kalau sudah sangat malam.
Kalau pagi-sore bisa 3 jam karena macet total.
Ada yang bilang “bebas banjir”, tapi sebenarnya tidak bebas tergenang,
meski tergenangnya cuman selutut saja.
Dan si supir taksi pasti akan lebih kecut lagi ketika ia tahu bahwa
cicilan 2 juta per bulan itu belum termasuk uang iuran - sampah dan keamanan -
yang kalau model rumah susun itu bisa berkisar ratusan ribu rupiah.
Belum lagi beban listrik dan air yang tidak semurah ketika ia ngontrak di
rumah biasa.
Supir taksi itu terngiang harapan istri dan anaknya di rumah tadi malam,
“Duh pak.. Semoga bisa kebeli rumah yang gak pake dp itu ya. Kita gak
salah milih Gubernur. Sudah seiman, mulia lagi hatinya bisa mengerti situasi orang
kayak kita.. Semoga mimpi-mimpi kita tercapai ya, pak..”
Akhirnya sang supir taksi itu meminggirkan taksinya dan mampir ke toko
buku kecil di pinggir jalan. Ia ingin menghadiahkan istri dan anaknya buku saku
berjudul “tafsir-tafsir mimpi..”
Setidaknya mimpi itu ada tafsirnya, bukan ayat-ayat suci saja..
Kehidupan memang keras, kawan.. Tapi lebih sakit lagi, ketika sudah
keras, pake acara dibohongi pulak lima tahun ke depan..
Antara “Nasib” dan “Naseeb” itu emang berbeda. Nasib itu adalah pilihan
hidup seseorang, sedangkan Naseeeb itu bernada, “sial, gua kenak lagi dah..”
Seruputtt ah..