![]() |
LGBT |
Temanku ternyata seorang gay. Aku
baru tahu ketika akhirnya kami duduk berdua sambil ngopi bersama dan ia
bercerita tentang kisah hidupnya. Entah kenapa ia begitu percaya padaku.
Dan sesudah dia bercerita semua
dimana aku menjadi pendengar yang baik, akhirnya dia minta pendapatku,
“Bagaimana pandangan kamu?”.
Bagaimana pandanganku? Aku merasa
aneh dengan pertanyaan itu.
Jika pakai hukum agama, apa yang
dilakukannya jelas salah. Tapi ia sudah pasti menyingkirkan hukum agama, karena
agama buatnya bukan solusi atas persepsi terhadap dirinya sendiri.
Banyak sekali dari kita
sebenarnya bukan mencari kebenaran sejati, tapi lebih condong melakukan
pembenaran terhadap diri sendiri.
Sifat dasar manusia adalah tidak
mau disalahkan atas apa yang dia lakukan.
Meskipun apa yang dibilang orang
pada dirinya benar, ia tetap tidak akan bisa menerima karena ia sejatinya bukan
mencari jalan keluar, tapi mencari teman yang sepaham dengan pembenaran yang
dia lakukan.
Coba aku jawab, “Kamu salah,
karena bla bla..” aku sudah pasti dijauhi karena bertentangan dengan apa yang
selama ini dia pahami. Jadi lebih baik diam sambil terus mendengarkan apa yang
dia ocehkan. Manusia punya keputusan sendiri atas apa yang ia lakukan.
Pada dasarnya, manusia selalu
berasumsi terhadap sesuatu. Ketika ia merasa bahwa apa yang dilakukannya benar,
maka ia akan terus membenarkan apapun yang dilakukannya.
Asumsi adalah pendapat tanpa
pijakan yang kuat. Karena tidak punya pegangan yang kuat, maka apa yang
dirasanya baik itu sudah pasti benar.
Padahal kebenaran bukan diukur
dari apa yang dianggap manusia baik. Kebenaran adalah kebenaran, sedangkan
“kebaikan” banyak yang berasal dari prasangka saja..
Disitulah gunanya agama
sebenarnya, sebagai sebuah pijakan. Sebuah landasan berpikir untuk mengetahui
apakah yang kita lakukan benar atau salah. Agama adalah petunjuk, supaya
manusia tidak berjalan di dunia ini dengan prasangka- prasangka.
Aku jadi teringat ketika betanya
pada seorang teman, “Apakah yang aku lakukan benar? Atau hanya prasangkaku saja
bahwa itu benar? Bagaimana mengenali bahwa yang aku lakukan adalah benar atau
salah?”
Temanku yang kuanggap bijak
tersenyum. Dia menjawab dengan tohokan yang kuat ke ulu hati.
“Prasangka adalah nafsu. Nafsu
selalu berjalan ke arah salah. Dan ujung dari nafsu adalah kehancuran...”
Aku masih belum mengerti,
“Bagaimana aku bisa tahu bahwa
apa yang kulakukan adalah berdasarkan nafsuku??”
Dia mengambil kopi yang sudah
tersedia di depannya dan menjawab dengan tanpa beban.
“Hancurkan dulu dirimu.
Menghancurkan dirimu sama saja dengan menghancurkan nafsumu. Buang semua
alasan-alasan yang selama ini kamu bangun sebagai pembenaran. Mulailah dari
yang awal, bahwa kamu tidak punya pengetahuan apapun tentang dirimu sendiri.
Lalu carilah petunjuk yang sudah
disediakan sebagai tahapan kamu belajar..”
Ah, berat sungguh. Aku mengeluh.
“Lalu bagaimana kalau aku tidak bisa menghancurkan diriku sendiri karena egoku
sudah terlalu besar?”.
Temanku tertawa. Sore itu cuaca
cerah meski sedikit berawan. Dia lalu mengangkat cangkir kopi dan
menyeruputnya.
“Kamu tanpa sadar sudah meminta
Tuhan campur tangan untuk menghancurkan dirimu sendiri. Bersiaplah, goncangan
akan datang..”
Dan setahun kemudian, seluruh
hartaku habis dan aku berada pada titik paling terendah dalam hidupku. Tuhan
membantuku menghancurkan diriku melalui kesalahanku sendiri. Dan pelan-pelan
aku menyusun keping-keping diriku sampai akhirnya aku mengerti.
Butuh tahunan hanya untuk berada
pada tahapan mengerti saja.
Aku dan temanku yang gay berpisah
tanpa sepatahpun aku memberinya pengertian. Aku tidak ingin mengajarinya,
biarlah peristiwa yang membentuk dirinya sendiri.
Supaya kami tetap berteman,
terkadang diam adalah sebuah pengorbanan tersendiri..
Biarlah aku menulis ini saja.
Bukan untuk dia, tapi untuk mereka yang ingin belajar tentang bagaimana Tuhan
mengajarkan manusia melalui proses peristiwa.
Sampai kita paham, jika kita mau
belajar memahami..
Secangkir kopi siang ini rasanya
nikmat sekali...