![]() |
Keluarga SBY |
"Kamu tahu Jokowi pernah
ditawari uang 3 triliun rupiah?"
Seorang teman yang saya tahu dia
dekat secara kekeluargaan dengan Presiden bercerita. "Untuk apa ?"
Tanya saya sambil menyeruput kopi di sebuah warung angkringan.
"Untuk bikin partai.."
Katanya.
Saya terhenyak. Gila, pikir saya.
Banyak amat. Saya sendiri yakin banyak pengusaha yang tertarik jika Jokowi membuat
partai baru. Sama seperti SBY ditawari membuat partai Demokrat dulu.
Popularitas Jokowi membuatnya
mudah mencapai itu. Dan pasti banyak yang bergabung karena banyak orang memilih
Jokowi karena sosoknya, bukan karena ia pendukung partai tertentu.
"Tapi Jokowi menolak. Dia
tidak ambisi membuat partai baru. Partai itu seperti kerajaan baginya, dan ia
terpaksa harus membangun dinasti untuk mempertahankannya..." Temanku
menutup ceritanya.
Saya tersenyum. Jokowi memang
sangat beda dengan SBY, bahkan dalam membina keluarganya. Anak-anak Jokowi
tidak dituntutnya untuk mengikuti dirinya, atau ia memaksa untuk seperti
dirinya.
Jokowi memang pernah mengaku
bahwa ia sedih, anaknya tidak ada yang mau mengurus perusahaan meubel yang ia
rintis. Tapi cukup sampai disitu, dan ia tidak pernah memaksa mereka.
Ia bahkan mendukung anak2nya
untuk mandiri, belajar bagaimana membangun dan membesarkan perusahaan sendiri.
Ia tahu, anak2nya tidak ingin berada dibawah bayang2 bapaknya. Mereka ingin
punya jejak sendiri dalam kehidupannya..
Situasi yang berbeda ada pada
keluarga SBY..
Anak2 SBY sejak awal memang
dirancang untuk membangun dinasti dalam kerajaan mereka. Mereka harus mengikuti
apa kata bapak ibu mereka, suka ataupun tidak. Bahkan anak tertua, Agus
Harimurti, mengikuti jejak bapaknya menjadi tentara dan rela keluar untuk
membantunya mempertahankan kokohnya partai mereka.
Perbedaan hasil didikan kedua
keluarga ini terlihat jelas. Gibran dan Kaesang terlihat sangat bebas dan tidak
sungkan bercanda dengan orangtuanya, bahkan di depan publik.
Sedangkan anak2 SBY terlihat kaku
dan sangat teratur di depan kedua orangtuanya. Apalagi jika mereka tahu, bahwa
kamera sedang menyorot mereka.
Ada harga yang harus dibayar
memang. Jokowi menolak sesuatu yang bagi banyak orang dianggap sebagai
kesempatan besar. Ia lebih memilih hidup merdeka dengan keluarganya.
Ia bisa saja memilih jalan
seperti apa yang SBY lakukan. Tapi tidak, buatnya uang dan kekuasaan bisa jadi
adalah penjara. Dan ia tidak ingin terperangkap dalam tatanan yang pasti
membebani hidupnya. Hari demi hari harus berfikir bagaimana mempertahankan
kekuasaan, itu sangat menyiksa.
Jokowi tipikal orang yang percaya
bahwa manusia mati tidak membawa apa2, hanya amal baik di dunia yang akan
dinilai nantinya. Bukan harta dan bukan tahta. Karena semakin kaya seseorang,
semakin sulit mempertanggung-jawabkan semua dihadapan yang Kuasa.
Itulah yang membuat saya makin
kagum padanya. Perasaan itu membuat saya lapar dan mengambil tahu isi yang
tersisa diatas meja.
"Kamu udah makan tahu isi
berapa ?" Tanya temanku yang siap membayari semua.
"Tiga.." Kataku cepat.
Dan terdengar teriakan hebat dari ibu warkop yang siap dengan sapunya.
"Bohonggg ! Tadi kulihat makan lima ! Bicara triliunan, makan tahu lima
ngaku tiga !!"
Wah, bahaya. Kuseruput kopi yang
tersisa dan menghilang di kegelapan malam meninggalkan temanku yang
kebingungan..