![]() |
Foto Jokowi dan Prabowo |
Pilpres 2019 akan dimulai 5 bulan lagi....
Situasi makin panas antara kedua kubu yang bertarung. Sekarang bukan
masanya lagi sopan-sopanan, gebrak terus sampai lawan terjengkang.
Jokowi yang biasanya santun, sekarang mulai mengeluarkan kata
"sontoloyo" dan "genderuwo" untuk menghajar lawan
politiknya. Kekesalan Jokowi tampak karena lawan politiknya tidak
selesai-selesai memainkan kampanye negatif sampai kampanye hitam. Ini hal yang
jarang kita lihat keluar dari pidato Jokowi selama ini.
Baca juga: Setelah Politik Sontoloyo, Jokowi Kenalkan Politik Genderuwo
Bahkan Cawapres KH Maaruf Amin, tetiba mengeluarkan statemen "budek
dan buta" dalam pidatonya. "Orang yang sehat dapat melihat jelas
prestasi yang ditorehkan Pak Jokowi, kecuali orang yang budek saja enggak mau
mendengar informasi dan orang yang buta saja yang enggak bisa melihat
kenyataan," begitu isi pidato KH Maaruf Amin meski ia mengaku tidak
menyinggung siapa pun, termasuk lawan politiknya.
Ada apa mereka berdua sampai bisa melontarkan kata-kata yang kontroversial
itu?
Ini kemungkinan besar terkait dengan banyaknya pernyataan Prabowo yang
selalu bermain di kata-kata "menakuti" dalam kampanyenya. Prabowo
suka sekali memainkan narasi ketakutan, mulai dari "tenaga kerja
asing", "masalah utang dan impor" sampai "99 persen orang
Indonesia hidup pas-pasan".
Prabowo sendiri memainkan narasi tanpa data valid. Buat Prabowo ini bukan
masalah data tetapi permainan emosi dan persepsi, dan ini menguntungkan dirinya
yang selama survei hanya berada di kisaran 30 persenan saja. Prabowo butuh
dongkrak untuk menaikkan elektabilitas suaranya dan untuk itu apa pun akan
dilakukannya.
Pada awalnya Jokowi mendiamkan model kampanye "receh" ala
Prabowo. Tetapi berkaca dari Pilpres Amerika dan Brazil, ternyata model kampanye
seperti itu efektif untuk memenangkan pertarungan. Dan ini menjadi alarm bagi
Jokowi yang biasa bermain dengan kampanye elegan.
Karena itulah untuk membalas receh Prabowo, tim Jokowi memainkan receh yang
berbeda. Kata "sontoloyo" dan "genderuwo" dikeluarkan untuk
memancing reaksi lawan. Minimal, kata itu diharapkan menjadi perbincangan di
media sosial, sehingga pihak Prabowo lebih sibuk mempermasalahkan kata itu
daripada membangun "receh" baru.
Jokowi yang selama ini bertahan, mulai menyerang. Mungkin saja ia mulai
mengadopsi strategi sepak bola bahwa "pertahanan terbaik adalah
menyerang".
Panasnya model kampanye mulai terasa. Media sosial penuh dengan pertarungan
persepsi dan propaganda untuk memojokkan lawan. Semua ini dilakukan untuk
mendapatkan swing voters atau mereka yang belum menentukan pilihan yang berada
di angka 11 persen.
Ke mana swing voters akan beralih? Apakah kampanye receh itu berdampak pada
pilihan mereka?
Kita tunggu dan amati terus pergerakan langkah catur yang menarik ini
sambil tidak lupa tentunya seruput secangkir kopi..