![]() |
Denny Siregar |
Jakarta - Jujur
sejak awal saya tidak paham apa yang dipermasalahkan Annisa Pohan dan Partai
Demokrat..
Kalau dituduh
saya membully seorang anak, mereka juga tidak menunjukkan bukti bullyan seperti
apa. Apakah saya membully fisiknya? Atau bully isi tulisannya? Atau bully
bahasa Inggrisnya?
Tiba-tiba
aja, seperti angin topan saya dituding membully anak. Padahal twit saya jelas-jelas
saya tujukan kepada Demokrat yang sibuk dengan narasi lockdown dari bapak, ke
anak, trus ke cucu dan bisa juga ke cicit. Bukan bully anaknya.
Itu framing
jahat..
Lalu saya
katanya mau dilaporkan ke Bareskrim. Eh, laporan ditolak karena gak memenuhi
bukti kuat. Demokrat balik badan, lalu bikin narasi ancaman, dalam waktu 3x24
jam saya harus hapus twit saya itu.
Ketika saya
bilang, "Silahkan ke jalur hukum.." mereka teriak, "Lha, anda
nantang?" Gimana sih? Masak menghormati hak orang mau somasi, dibilang
nantang.
Sebenarnya
saya tidak mau memperpanjang masalah ini, karena saya harus paham reaksi ibu
seperti Annisa Pohan yang gak paham politik. Tapi kayaknya karena dia ngamuk,
orang-orang Demokrat langsung cari muka supaya dianggap loyal. Hihi..
Kenapa saya
bersikeras tidak mau menghapus cuitan dan siap berhadapan dengan mereka di
jalur hukum?
Bukan saya
berani atau sok berani.
Pertama,
karena saya tidak salah.
Kedua, karena
saya ingin menghajar kearoganan mereka.
Jangan
mentang-mentang sebagai partai kaya dan pernah berkuasa, jadi seenaknya mau
menindas orang seperti saya. Saya tidak akan mundur dari tekanan apapun.
Ini juga biar
jadi pelajaran buat kita semua, jangan pernah takut menghadapi ancaman jika
kita benar.
Saya tidak
dibekingi siapapun. Saya sendirian, mungkin jika perlu, saya didampingi
pengacara yang siap pasang badan bukan karena uang, karena saya tidak mampu
bayar mereka. Tapi karena dia juga punya prinsip yang sama dengan saya.
Mungkin saya
seperti Daud melawan Goliath. Mungkin saya akan kalah dan masuk penjara karena
saya tidak punya pegangan orang berkuasa.
Tapi ketika
itu terjadi, saya tinggal bilang ke anak saya kelak, "Papa sudah melawan,
nak. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya."
Salam
secangkir kopi..